Travel Challange! Challange your travelling soul...
Tuesday, December 8, 2015
Monday, February 24, 2014
Giraffe Journey 1: Hutan, Air Terjun, dan Puncak Paralayang
This journey has begun. This was only the first step. I wish I could keep running away, dear you. First destination : Taman Nasional Gede Pangrango.
Seperti yang sudah saya katakan, jerapah memiliki kaki kaki panjang dan dia bisa menjangkau manapun. Saya berniat membawanya kemanapun petualangan kabur saya berjalan. So that I will feel safe, always.
Memang benar meski bersama teman, dalam perjalanan inipun pikiran saya melayang kemana-mana. Dalam 'sendiri', saya berjalan sambil berpikir, berusaha mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menerus menghantui saya.
Ini belum akan berakhir. Saya masih belum menemukan jawabannya. Saya juga belum bisa menjawab "kenapa?" nya kamu.
Tell me I act like kiddos, but here I am, who easily becomes jealous. I love running away when get troubles in mind and heart.
If it is fine, just let me be alone for several times. I won't run away from our scheduled trip(s). Still, I am the human who keeps her promises.
I wish I could tell you |
Seperti yang sudah saya katakan, jerapah memiliki kaki kaki panjang dan dia bisa menjangkau manapun. Saya berniat membawanya kemanapun petualangan kabur saya berjalan. So that I will feel safe, always.
Help! I'm Drowning |
Like a damsel in distress |
May I keep running away? |
Giraffe Journey |
I am tired. I really am. |
Monday, February 17, 2014
Giraffe Journey Pre Part
Entahlah. Seorang teman, bahkan berkata tingkat random saya parah. Perjalanan ini saya lakukan untuk menemukan apa yang saya ingin kan, siapa yang saya sayangi, apa yang saya paling takutkan, siapa sosok yang saya paling takut kehilangan.
Awalnya saya berpikir belajar mendaki gunung membantu saya berani menghadapi masalah. Akhir-akhir ini saya mulai meragukan apa yang selama tahun 2013 saya yakini. Tahun 2013 lalu menjadi tahun penuh kehedonan seorang Fetry Wuryasti. Saya pertama kali menjejakkan kaki ke gunung, lalu menjadi ketagihan. Saya juga menjelajahi timur hingga barat Asia Tenggara, untuk mencari jejak yang telah lalu.
Hingga satu titik saya sadar ternyata ada satu orang yang paling saya takut kehilangan dan dia bukan jejak yang telah lalu. Saya terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan bahwa ada rasa itu di hati saya. Perjalanan ini saya lakukan untuk membuat saya yakin agar membuang rasa itu jauh-jauh dan membuka perspektif baru, perspektif yang lain, dan belajar memiliki hati seluas langit. Nanti tiba saatnya saya kembali, semoga pencerahan itu datang, saya bisa tersenyum untuk mengucapkan "Halo".
Saya gak pernah berminat untuk membuat buku tentang perjalanan. Oleh karena itu hanya tulisan tentang perjalanan kaki-kaki jerapah inilah yang akan saya tulis. Kenapa jerapah? Saya menyukai corak dan kaki-kaki jenjang binatang ini, seolah dia mampu menjejakkan kaki kemana pun, coraknya seolah dia bisa beradaptasi dalam kelompok lain.
Belum lama ini permintaan saya untuk memiliki boneka jerapah juga terkabul. Terima kasih, kamu.
The Giraffe Journey akan dimulai. Bismillah..
Tuesday, December 10, 2013
Bandung, Kabut Kawah Putih, dan Tutuan !
Liburan hanya 12 jam di Bandung mungkin sudah biasa terdengar telinga kita. Bandung dengan jarak yang bisa ditempuh dengan waktu 3 jam barangkali banyak yang pulang pergi alias ‘tek-tok’ dalam sehari. Tentu saja tujuan destinasi utama ke Bandung biasanya adalah untuk berbelanja.
Bagaimana jika kali ini kita menikmati kota ‘tempat kaburnya orang Jakarta’ dari sisi lain. Mari kita melipir ke wisata alam di selatan Bandung, tepatnya Kawah Putih di Ciwidey.
Kawah putih dapat di tempuh dari pusat kota bandung dengan durasi perjalanan selama 3 jam. Jika Anda membawa kendaraan pribadi, mungkin akan lumayan melelahkan, mengingat rute yang dilewati merupakan area macet, yaitu pusat industri barang-barang berbahan kulit di Kopo.
Alternatif lain untuk mengelilingi Bandung tanpa lelah adalah dengan merental kendaraan dengan tarif Rp 250-450 ribu selama 24 jam termasuk supir. Saya bersama 10 teman memulai perjalanan dari kota Bandung menuju Ciwidey sekitar pukul 12.30 WIB setelah makan siang.
Sesampai di area wisata alam Kawah Putih sendiri kita bisa memilih untuk membawa kendaraan pribadi untuk masuk ke dalam area dan dikenakan tarif Rp 150 ribu untuk mobilnya, atau menggunakan angkot sewaan dengan harga yang sama, tapi bisa dinaiki 13 hingga 15 penumpang. Jangan lupa biaya masuk tempat wisata ini sebesar Rp 15 ribu per orang.
Hal yang lucu terjadi saat liburan ramean mendadak kami, saat akan membayar biaya masuk, baik Bayu dan Om sano berebutan membayar untuk kami ber 11. Haha! Mau bayar aja rebutan :p
Kawah putih sendiri merupakan areal danau kawah yang mengandung belerang yang berada di ketinggian sekitar 2.194 mdpl, dengan suhu sekitar 10-15 derajat celcius. Februari lalu ketika kami ke sini, suhu berada di sekitar angka 13 derajat celcius, berkabut dan berangin kencang.
Jangan lupa membawa masker ya! Aroma belerang yang menyeruak cukup membuat kamu nanti mual. Selain memang bau gas yang berasal dari belerang, gas ini juga beracun apabila terlalu lama kita menghirupnya.
Tapi saya akui, suasananya cukup romantis (banget) untuk traveling bersama pacar (pacar siapa?). Bila ke sini ber 13 orang seperti saya, rasanya lebih tepat dikatakan acara tamasya remaja paruh baya! hehe
Di sini juga terdapat gua dari jaman Belanda yang hanya bisa dilihat karena pintu masuknya ditutupi palang-palang kayu. Saat kemarin saya ke sana, ternyata selain sebagai destinasi wisata, Kawah Putih juga bisa dipakai sebagai area pemotretan prewedding.
Saya menduga, mungkin setelah pemotretan, mempelai wanita akan masuk angin! Terang saja, si calom mempelai wanita hanya mengenakan gaun berkemben merah. Mungkin kulitnya badak kalau dia tidak sakit setelah pemotretan.
Satu hal yang harus dipastikan ketika ke kawasan ini menggunakan angkot carteran, supir angkot harus dipastikan untuk menunggu penumpangnya karena tarif Rp 150ribu itu untuk naik ke atas hingga mendekati kawah, serta turun lagi nantinya ke parkiran area kawah putih.
Jangan seperti yang kami alami, tertipu oleh supir angkot dan berakhir menumpang pada mobil bak salah satu wisatawan yang kami cegat karena saat itu hari mulai gelap. Terima kasih Hanif untuk berbahasa Sundanya yang fasih!
Jika tidak mendapat tumpangan, berjalan kaki turun ke area parkiran merupakan satu-satunya solusi. Sempat kami semua diajak Bayu untuk berjalan kaki menuruni bukit. Menurutnya dari pada terjebak gelap malam di atas, lebih baik berusaha turun pelan-pelan.
Setelah menunaikan Magrib, wisata malam pun dilanjutkan dengan kembali ke pusat Kota Bandung untuk mencari makan. Perjalanan sekitar 3 jam lagi dengan ekspekasi sesampai di Kota Bandung kondisi jalanan sudah tidak macet.
Sesuai perkiraan, walaupun malam minggu, dan baru pukul 21.00, jalanan sudah lenggang. Ini uniknya Bandung, Pukul 19.00 jalanan seputar Dago masih sangat macet, selang 2 jam, sudah seperti tidak ada kehidupan! Kemanakah yang berpacaran di malam minggu? Jawabannya adalah di Punclut!
Di dataran tinggi Punclut kita dapat menikmati berbagai makanan Sunda. Makan malam pun kami putuskan di sana.
Sebenarnya, yang dijual dari tempat wisata kuliner ini adalah suasananya. Anda dapat melihat seluruh kota bandung dari tempat ini, tak heran banyak pasangan muda dan keluarga memenuhi kawasan kuliner ini sebagai alternatif pilihan kuliner di Bandung yang rata-rata berupa kafe.
Ada satu makanan yang menurut saya cukup unik dan enak, Tutut, yaitu keong sawah yang di olah sedemikian rupa menggunakan kuah lada hitam dicampur jahe.
Cara makannya juga unik, anda harus menyedot ataupun mencongkel daging Tutut dari cangkangnya, agak cukup sulit, tetapi kalau berhasil, akan sangat puas memakannya. Rasanya makanan ini kurang lebih seperti kerang, bagi yang cepat merasa jijik, seperti teman saya, sebut saja Bayu, menelan tutut pun tidak sanggup.
Untuk harga makanan di Punclut cukup terjangkau. Total biaya untuk kamis semua termasuk dua supir hanya menghabiskan sekitar Rp 320 ribuan. Cukup terjangkau, bukan?
Setiap harinya tempat ini mulai buka sekitar pukul 17.00-03.00. Mungkin selain wisata berbelanja, ulasan saya ini bisa menjadi alternatif untuk liburan kilat menghilangkan penat.
Saturday, November 23, 2013
Merbabu, Trip Ngasal Reunian dan Demi Tulisan Selamat Ulang Tahun Mama
11-14 Okt 2013
Berawal dari celetukan Om Lovie di Sky Dining Pelangi tentang liburan bareng ke Yogya pada 11-14 Oktober....
Diputuskanlah sekitar bulan Juli, liburan reunian manusia-manusia eks Semeru nya si akun toko itu pada 11 Oktober di Yogyakarta sebagai meeting point. Yeay!
Acara ngalor ngidul mulai dirancang dan hunting tiket pun dimulai. Trip kali ini mengajak beberapa orang yang sama sekali di luar eks Semeru, yaitu geng Nutrijel Surabaya, Mba Ang, dan Andri.
Mendekati hari H, hampir semua dari kami telah memiliki tiket menuju Yogyakarta. Pematangan itin dan pembagian tugas siapa yang bawa alat-alat lenong pendakian juga dilakukan oleh Key, Om Lovie dan Om Pulung.
Selain tiket dan intinerary, persiapan fisik juga dilakukan. Ayah (Om Pul) menyuruh saya untuk rajin berlari. Haha tidak disangka saya sanggup berlari 5 km setiap hari, hingga hari ini meski sekarang hanya menjadi 2-3 kali saja dalam seminggu.
Hari H pun tiba, dengan berbagai drama akhirnya kami ber 25an orang tiba di Wekas, gerbang gapura sebelum menuju Basecamp. Ternyata benar saran ayah untuk berlari setiap hari, pendakian sama sekali tidak melelahkan, meski 2 minggu sebelum hari H, pinggang saya kecentit. Alhamdulillah cepat sembuhnya berkat berenang.
Persiapan fisik saya lakukan mengingat saya tidak akan berangkat bareng Isal. *ciee lagi2 isaal :3* Sehingga barang lenong macam tenda, kompor dan nesting harus asti gendong sendiri!
Kami mulai trekking sekitar pukul 15.30. Hari itu cuaca full panas nggak ketulungan. Debu sepanjang jalur Wekas pun beterbangan menyesakkan nafas. Trekking yang kata PapMei hanya sepanjang 5km sampai Pos 2 untuk ngecamp membuat gerah badan dan bikin nafas megap-megap karena panas dan debu.
Seperti biasa berjalanlah sesuai kemampuan. Saya sempat tertinggal di tengah-tengah penjalanan. sebagian teman berada jauh di atas, dan sebagian lagi berada jauh di bawah. Matahari mulai tenggelam, dan saya mulai ketakutan. Akhirnya saya terus menerus teriak memanggil nama Keyko.
Dengan jantannya key berdiri di suatu tengah-tengah hutan menunggu saya. Haha makasih key, bahkan Asti malah sempat nangis karena aneh-aneh itu ngeliatin hahaha! *cium keyko*
Ternyata key juga merasakan hal yang sama, kami bertemu dengan 2 orang pendaki, yang akhirnya rokoknya diminta Key.
Sekitar pukul 18.30 saya dan Key tiba di camp. Anehnya saat orang-orang merasa dingin, itu tidak terjadi pada saya. Sekitar 30 menit kemudia Mba Ang dan kunthi tiba, mereka terlihat sedikit drop.
Kami mulai membangun tenda. Dasar amatiran, lebih dari dua kali kami bongkar pasang rangka. Fachri pun berulang kali dipanggil untuk membantu kami. Padahal dia sedang repot dengan tendanya. Dear Isal, begini lah kami tanpamu, bagai butiran debu cyin!
Tenda terpasang, dan beberapa minuman hangat telah disantap. Kunthi dan Papmei memilih tidur. sementara saya masih keluar masuk tenda menunggu rombongan Isal, Om Ucup, Caesa dan Kibo. Akhirnya rasa kantuk tak dapat dilawan, saya akhirnya ikut tidur ndusel-ndusel PapMei di tenda. :D Sementara anak-anak yang lain menikmati kopi ganja pemberian Om Lovie.
Sekitar pukul 24.00 mereka tiba di camp Pos 2 Wekas. Yang membangunkan saya kala itu suara panggilan Isal menanyakan ruang untuk cesa ganti baju. Namun apa daya, tenda penuh karena Andri tidak membawa tenda seperti yang sudah ditugaskan dalam pembagian kelompok. Sehingga berlakulah sistem, yuk yang penting bobok anget. Payah.
Jam 02.00 kami semua melek dalam diam. Suasana camp semakin ramai dengan nyanyi-nyanyian gitar beberapa pendaki, dan teriakan saling menyambut pendaki yang baru saja datang. "Pah, jam 2. Mau summit gak?", papa hanya menjawab "he eh yuk."
Bangunlah kami berlima bersiap summit, kemudian membangunkan tenda yang berisi Rizky, Ebi dan Andri mengajak mereka ikutan. Sekitar 3 jam lebih kami mendaki ke Puncak Syarif. Gunung Merbabu ini meliliki 3 puncak, Syarif, Kenteng Songo dan Tringolasi. Puncak Syarif adalah yang paling banyak didatangi.
Pendakian merbabu bagus banget bagi para fotografer lanscape. Medan tidak berat ditambah pemandangan selama trekking saat sunset begitu cantik, dan saat sunrise di puncak begitu menakjubkan! Suwerlah! Berkali-kali saya , Kunthi dan PapMei berkata "Subhanallah" atau "Oh sh*t keren banget".
(Ceritanya lanjut nanti, mau pulang)
Friday, November 22, 2013
Kemping Ceria VS Gowes Ampe Sengkleh (GAS)
KemCer Dimulai |
Kalo selama ini umumnya orang mendaki dengan kaki, aku menemukan ternyata ada lho orang yang mendaki gunung dengan sepeda. Gowes Ampe Sengkleh (GAS), kelompok sepeda gokil yang bertemu Ayek-ayek saat Kemping Ceria (Kemcer), 29-30 Maret 2013 lalu.
Kemping Ceria direalisasikan atas dasar acara wisuda di gunung karena Rizky baru saja lulus kuliah. Papandayan dipilih karena kami ingin traveling dan piknik cantik di gunung. Kami memilih berangkat Jumat malam 29 Maret sepulang kerja. Ini kali pertama aku ke kantor membawa keril. Rasanya sangat macho!
Meeting point kami di terminal Lebak Bulus. Dengan Rp 35 ribu, kamu bisa naik bis ke arah Garut yang tersedia hingga pukul 24.00 dengan lama perjalanan sekitar 5-7 jam tergantung macet atau tidaknya jalanan.
Bus akan berhenti di Terminal Garut, masih perlu naik angkutan umum hingga pertigaan Cisurupan.
Tidak mudah mencapai lokasi basecamp dari pertigaan Cisurupan. Jalanan sangat jelek, kebanyakan cuma mobil picik up melewatinya. Tapi yang keren, kita kemarin bertemu sama kelompok pendaki pesepeda. Mereka menggunakan sepeda untuk mencapai basecamp. Kewl!
Mereka kewl! |
Mereka satu per satu tiba di basecamp sekitar pukul 12.00 WIB tengah hari. Setiap tiba anggota mereka, semua orang di basecamp memberi selamat dengan tepuk tangan ramai. Iseng, Ayek-ayekpun kenalan dengan om-om dan mas-mas super ini. Mereka juga antusias memamerkan poster besar yang dibawanya, bertuliskan "GAS (Gowes Ampe Sengkleh), Bekasi-Gunung Papandayan, 29-31 Maret 2013".
GAS (Gowes Ampe Sengkleh) adalah sekelompok orang-orang yang mencoba untuk menikmati traveling dengan mengendarai sepeda. Mereka berempat, yaitu Ares, Narki, Dony, dan Ganip mewakili kelompok yang terdiri atas 15 orang dan memulai mengayuh sepeda dari Cisurupan. Kemudian berhenti sejenak di basecamp, lalu lanjut bersepeda hingga ke Pondok Salada.
Jangan salah, mereka nantinya akan pulang sampai bekasi dengan mengayuh sepeda. Kurang seksi apa betis mereka coba?! Mereka bahkan juga pernah menggowes sepeda hingga Palembang. Setelah Papandayan, mereka akan mencoba bersepeda hingga Pantai Pangandaran.
Papandayan memang cocok disebut sebagai destinasi kemping ceria. Seperti kata Om Ardi, Nginep semalam wajar. Nginep 2 malam itu ngeronda. Treknya termasuk ringan hingga tempat camp, hanya perlu berjalan sekitar 2,5 jam. Itu pun udah diisi dengan foto-foto narsis. Namanya juga kemping ceria.
Jalan dikit, foto, jalan dikit, foto |
Jangan lupa selalu sedia penutup mulut, karena bau belerang sepanjang perjalanan sangat menyengat.
Untuk mencapai Pondok Salada, ada 2 trek, melalui trek hutan mati yang terjal namun lebih singkat, atau trek lawang angin yang lebih landai namun lebih lama karena jalurnya memutar.
Belerang dimana-mana |
Yang menyenangkan, om-om dari GAS ini mendirikan tenda persis di sebelah tenda kami. Haha mereka sangat jago masak! Yaudah deh, semua logistik Ayek-ayek dilempar ke 'dapur' tetangga. Om-om GAS memasak, kami the ayek-ayek-ers and friends cukup mengunyah!
Tinggal makan! |
Apalagi yang lebih nikmat dari itu? Ditambah kita-kita boleh berkeliling meminjam sepedanya. Gak cuma bersepeda sampai Pondok Salada, Om Ares dkk juga akan menggowes sepeda ke atas menuju ke Tegal Alun.
Ayek-ayek boleh pinjam |
Nengok ke belakang, eh Om Ares ternyata ikut kita untuk melihat matahari terbit juga! Lengkap dengan nesting pastinyah! Nikmat deh! Suer! Bareng-bareng mereka senantiasa minum nutrisari/kopi/teh panas plus beberapa roti bakar!
Summit |
Sampai jumpa lagi |
Thursday, November 21, 2013
Pangrango dan Lembah Kasih Mandalawangi, Sumber Inspirasi Soe Hok Gie
Sebelum dan Sesudah Trekking |
8-10 November 2013
Setelah puas dengan Merbabu dan kota mistis romantis Yogyakarta, kali ini traveler random sadar belum pernah menjamah gunung yang berada sangat lebih dekat dengan Jakarta. Gunung Gede Pangrango. Oh iya ini nama dua gunung ya!
Gunung di Taman Nasional Gede Pangrango memang hangat berselimutkan puisi-puisi Soe Hok Gie. Tidak heran gunung di Jawa Barat dan masih bersebelahan dengan kota metropolut
Lembah Mandalawangi lah yang menjadi motivasi terbesar untuk ikut ajakan Isal, mengingat dia juga yang mengurus izin simaksi kami. Ceritanya kali ini ingin menyemarakkan Hari Pahlawan pada Minggu 10 November. *mamamcii icaall :*
Kami bertujuh, lagi-lagi ada Isal, Rizky, Papa Mei, berserta Farah yang menyusul dari Bandung, dan dua teman Isal, Dwi dan Bang Jambrong.
Kami mulai mendaki Sabtu sekitar pukul 01.30 WIB . Langit cerah, sangat berbeda jauh dengan kondisi pada Jumat siang, dimana hujan turun lebat sejak pukul 11.00 hingga saat kami akan berangkat dari Citos sekitar pukul 21.00.
Rasanya aneh mendaki tengah malam. Udara dingin, penglihatan yang terbatas, untungnya semua alat lenong asti masuk ke keril Papa Mei. Mamacii :* . Selama pendakian tidak ada ramai yang terdengar.
Padahal hari itu pendakian cukup ramai, total sekitar 400 pendaki. Sedikit menyebalkan mungkin ketika ada hal-hal aneh yang terlihat lebih jelas saat malam hari. Untung saya berada di antara 6 teman! Haha. Mulai dari pintu gerbang Gede Pangrango Cibodas hingga area kemping Kandang Badak memakan waktu sekitar 6 jam.
Mungkin benar bila sebagian pendaki menganggap Gede Pangrango sebagai rumahnya. Hutannya termasuk nyaman, terlihat beberapa pendaki tengah malam berjajar tertidur di jalur pendakian. Kami juga sempat memejamkan mata sekitar 30 menit. Cukup melipir, cari senderan batu atau pada keril. Silakan pejamkan mata! Hahaha
Isal, Dwi dan Bang Jambrong yang super sabar |
Nasi uduk rasa gunung |
Hati-hati, jangan sampai tertipu dengan Puncak Pangrango. Ini terjadi pada PaPa Mei dan Bang Jambrong yang berjalan duluan. Sampai di puncak "Jadi? Gini doang puncaknya?", lalu mereka turun lagi. Padahal Lembah Kasih Mandalawangi berada tersembunyi 150 meter dari Puncak Pangrango.
Puncak Gede dari Pangrango |
Rasanya Sepi |
Atas: Mandalawangi, Bawah: Surya Kencana |
Di antara menusuknya udara dingin, terselip rasa damai di sana. Dingin, pekat, menusuk, namun entahlah muncul rasa untuk melepaskan rindu-rindu kepada banyak hal selama ini, melepaskan segala rasa sesak itu di Lembah Mandalawangi. Mungkin ini alasan Gie menyukainya. Mungkin.
Berasa Video Klip |
Suasana sore sekitar pukul 16.30 di Lembah Mandalawangi, tanpa sinar mentari, dingin, kabut, namun kehangatan muncul dari canda tawa antar teman, sahabat, lengkap dengan berfoto bodoh kami.
Atas: Mandalawangi, Bawah: Surya Kencana |
Ah iya! Jangan terlalu sore untuk kembali ke Kandang Badak ya! Karena medannya mengharuskan kamu bergaya seperti monyet dan membuat cepat lelah, ditambah cahaya headlamp yang mungkin saja tidak cukup menerangi... (hati) #uups!
Untuk cerita tentang Gunung Gede, akan kulanjut lain kali. Saat menanjak tengah malam itu, aku datang bulan di pagi hari dan hilang semua tenaga serta drop dan sakit tiba-tiba. Masih jelas teringat mimik muka Isal berkata "Aaahh aastiiiii!!", ketika aku laporan "Isall, asti dapett :(". *maaf ya Isal aku nyusahin ._.*
Kondisi tubuh yang tidak stamina membuatku tidak summit ke Gunung Gede pada esok harinya. Ditemani Dwi yang juga sedang batuk, serta Bang Jambrong, kami bertiga malah berujung saling bercerita tentang hidup pribadi. Iya, gunung pasti menjadi saksi bisu isi curahan hati manusia.
Lain kali pasti kutuliskan cerita tentang Gunung Gede dan Taman Surya Kencana, untuk sekarang cukup cuplikan foto Gedenya, ya! Ceritanya tunggu saja! ;)
Puncak Pangrango |
Teman baru lagi |
Sunrise Puncak Gede |
Puncak Gede & Surya Kencana |
Subscribe to:
Posts (Atom)