Tuesday, December 10, 2013

Bandung, Kabut Kawah Putih, dan Tutuan !

Liburan hanya 12 jam di Bandung mungkin sudah biasa terdengar telinga kita. Bandung dengan jarak yang bisa ditempuh dengan waktu 3 jam barangkali banyak yang pulang pergi alias ‘tek-tok’ dalam sehari.  Tentu saja tujuan destinasi utama ke Bandung biasanya adalah untuk berbelanja.


Bagaimana jika kali ini kita menikmati kota ‘tempat kaburnya orang Jakarta’ dari sisi lain. Mari kita melipir ke wisata alam di selatan Bandung, tepatnya Kawah Putih di Ciwidey. 

Kawah putih dapat di tempuh dari pusat kota bandung dengan durasi perjalanan selama 3 jam. Jika Anda membawa kendaraan pribadi, mungkin akan lumayan melelahkan, mengingat rute yang dilewati merupakan area macet, yaitu pusat industri barang-barang berbahan kulit di Kopo.


Alternatif lain untuk mengelilingi Bandung tanpa lelah adalah dengan merental kendaraan dengan tarif Rp 250-450 ribu selama 24 jam termasuk supir. Saya bersama 10 teman memulai perjalanan dari kota Bandung menuju Ciwidey sekitar pukul 12.30 WIB setelah makan siang.

Sesampai di area wisata alam Kawah Putih sendiri kita bisa memilih untuk membawa kendaraan pribadi untuk masuk ke dalam area dan dikenakan tarif Rp 150 ribu untuk mobilnya, atau menggunakan angkot sewaan dengan harga yang sama, tapi bisa dinaiki 13 hingga 15 penumpang. Jangan lupa biaya masuk tempat wisata ini sebesar Rp 15 ribu per orang.


Hal yang lucu terjadi saat liburan ramean mendadak kami, saat akan membayar biaya masuk, baik Bayu dan Om sano berebutan membayar untuk kami ber 11. Haha! Mau bayar aja rebutan :p


Kawah putih sendiri merupakan areal danau kawah yang mengandung belerang yang berada di ketinggian sekitar 2.194 mdpl, dengan suhu sekitar 10-15 derajat celcius. Februari lalu ketika kami ke sini, suhu berada di sekitar angka 13 derajat celcius, berkabut dan berangin kencang.

Jangan lupa membawa masker ya! Aroma belerang yang menyeruak cukup membuat kamu nanti mual. Selain memang bau gas yang berasal dari belerang, gas ini juga beracun apabila terlalu lama kita menghirupnya.


Tapi saya akui, suasananya cukup romantis (banget) untuk traveling bersama pacar (pacar siapa?). Bila ke sini ber 13 orang seperti saya, rasanya lebih tepat dikatakan acara tamasya remaja paruh baya! hehe


Di sini juga terdapat gua dari jaman Belanda yang hanya bisa dilihat karena pintu masuknya ditutupi palang-palang kayu. Saat kemarin saya ke sana, ternyata selain sebagai destinasi wisata, Kawah Putih juga bisa dipakai sebagai area pemotretan prewedding.


Saya menduga, mungkin setelah pemotretan, mempelai wanita akan masuk angin! Terang saja, si calom mempelai wanita hanya mengenakan gaun berkemben merah. Mungkin kulitnya badak kalau dia tidak sakit setelah pemotretan.


Satu hal yang harus dipastikan ketika ke kawasan ini menggunakan angkot carteran, supir angkot harus dipastikan untuk menunggu penumpangnya karena tarif Rp 150ribu itu untuk naik ke atas hingga mendekati kawah, serta turun lagi nantinya ke parkiran area kawah putih.


Jangan seperti yang kami alami, tertipu oleh supir angkot dan berakhir menumpang pada mobil bak salah satu wisatawan yang kami cegat karena saat itu hari mulai gelap. Terima kasih Hanif untuk berbahasa Sundanya yang fasih!


Jika tidak mendapat tumpangan, berjalan kaki turun ke area parkiran merupakan satu-satunya solusi. Sempat kami semua diajak Bayu untuk berjalan kaki menuruni bukit. Menurutnya dari pada terjebak gelap malam di atas, lebih baik berusaha turun pelan-pelan.

Setelah menunaikan Magrib, wisata malam pun dilanjutkan dengan kembali ke pusat Kota Bandung untuk mencari makan. Perjalanan sekitar 3 jam lagi dengan ekspekasi sesampai di Kota Bandung  kondisi jalanan sudah tidak macet.


Sesuai perkiraan, walaupun malam minggu, dan baru pukul 21.00, jalanan sudah lenggang. Ini uniknya Bandung, Pukul 19.00 jalanan seputar Dago masih sangat macet, selang 2 jam, sudah seperti tidak ada kehidupan! Kemanakah yang berpacaran di malam minggu? Jawabannya adalah di Punclut!

Di dataran tinggi Punclut kita dapat menikmati berbagai makanan Sunda. Makan malam pun kami putuskan di sana. 

Sebenarnya, yang dijual dari tempat wisata kuliner ini adalah suasananya. Anda dapat melihat seluruh kota bandung dari tempat ini, tak heran banyak pasangan muda dan keluarga memenuhi kawasan kuliner ini sebagai alternatif pilihan kuliner di Bandung yang rata-rata berupa kafe.

Ada satu makanan yang menurut saya cukup unik dan enak, Tutut, yaitu keong sawah yang di olah sedemikian rupa menggunakan kuah lada hitam dicampur jahe.

Cara makannya juga unik, anda harus menyedot ataupun mencongkel daging Tutut dari cangkangnya, agak cukup sulit, tetapi kalau berhasil, akan sangat puas memakannya. Rasanya makanan ini kurang lebih seperti kerang, bagi yang cepat merasa jijik, seperti teman saya, sebut saja Bayu, menelan tutut pun tidak sanggup. 

Untuk harga makanan di Punclut cukup terjangkau. Total biaya untuk kamis semua termasuk dua supir hanya menghabiskan sekitar Rp 320 ribuan. Cukup terjangkau, bukan?


Setiap harinya tempat ini mulai buka sekitar pukul 17.00-03.00. Mungkin selain wisata berbelanja, ulasan saya ini bisa menjadi alternatif untuk liburan kilat menghilangkan penat.

Saturday, November 23, 2013

Merbabu, Trip Ngasal Reunian dan Demi Tulisan Selamat Ulang Tahun Mama

11-14 Okt 2013

Berawal dari celetukan Om Lovie di Sky Dining Pelangi tentang liburan bareng ke Yogya pada 11-14 Oktober....

Diputuskanlah sekitar bulan Juli, liburan reunian manusia-manusia eks Semeru nya si akun toko itu pada 11 Oktober di Yogyakarta sebagai meeting point. Yeay!

Acara ngalor ngidul mulai dirancang dan hunting tiket pun dimulai. Trip kali ini mengajak beberapa orang yang sama sekali di luar eks Semeru, yaitu geng Nutrijel Surabaya, Mba Ang, dan Andri.

Mendekati hari H, hampir semua dari kami telah memiliki tiket menuju Yogyakarta. Pematangan itin dan pembagian tugas siapa yang bawa alat-alat lenong pendakian juga dilakukan oleh Key, Om Lovie dan Om Pulung.

Selain tiket dan intinerary, persiapan fisik juga dilakukan. Ayah (Om Pul) menyuruh saya untuk rajin berlari. Haha tidak disangka saya sanggup berlari 5 km setiap hari, hingga hari ini meski sekarang hanya menjadi 2-3 kali saja dalam seminggu.

Hari H pun tiba, dengan berbagai drama akhirnya kami ber 25an orang tiba di Wekas, gerbang gapura sebelum menuju Basecamp. Ternyata benar saran ayah untuk berlari setiap hari, pendakian sama sekali tidak melelahkan, meski 2 minggu sebelum hari H, pinggang saya kecentit. Alhamdulillah cepat sembuhnya berkat berenang.

Persiapan fisik saya lakukan mengingat saya tidak akan berangkat bareng Isal. *ciee lagi2 isaal :3* Sehingga barang lenong macam tenda, kompor dan nesting harus asti gendong sendiri!

Kami mulai trekking sekitar pukul 15.30. Hari itu cuaca full panas nggak ketulungan. Debu sepanjang jalur Wekas pun beterbangan menyesakkan nafas. Trekking yang kata PapMei hanya sepanjang 5km sampai Pos 2 untuk ngecamp membuat gerah badan dan bikin nafas megap-megap karena panas dan debu.

Seperti biasa berjalanlah sesuai kemampuan. Saya sempat tertinggal di tengah-tengah penjalanan. sebagian teman berada jauh di atas, dan sebagian lagi berada jauh di bawah. Matahari mulai tenggelam, dan saya mulai ketakutan. Akhirnya saya terus menerus teriak memanggil nama Keyko.

Dengan jantannya key berdiri di suatu tengah-tengah hutan menunggu saya. Haha makasih key, bahkan Asti malah sempat nangis karena aneh-aneh itu ngeliatin hahaha! *cium keyko*
Ternyata key juga merasakan hal yang sama, kami bertemu dengan 2 orang pendaki, yang akhirnya rokoknya diminta Key.

Sekitar pukul 18.30 saya dan Key tiba di camp. Anehnya saat orang-orang merasa dingin, itu tidak terjadi pada saya. Sekitar 30 menit kemudia Mba Ang dan kunthi tiba, mereka terlihat sedikit drop.

Kami mulai membangun tenda. Dasar amatiran, lebih dari dua kali kami bongkar pasang rangka. Fachri pun berulang kali dipanggil untuk membantu kami. Padahal dia sedang repot dengan tendanya. Dear Isal, begini lah kami tanpamu, bagai butiran debu cyin!

Tenda terpasang, dan beberapa minuman hangat telah disantap. Kunthi dan Papmei memilih tidur. sementara saya masih keluar masuk tenda menunggu rombongan Isal, Om Ucup, Caesa dan Kibo. Akhirnya rasa kantuk tak dapat dilawan, saya akhirnya ikut tidur ndusel-ndusel PapMei di tenda. :D Sementara anak-anak yang lain menikmati kopi ganja pemberian Om Lovie.

Sekitar pukul 24.00 mereka tiba di camp Pos 2 Wekas. Yang membangunkan saya kala itu suara panggilan Isal menanyakan ruang untuk cesa ganti baju. Namun apa daya, tenda penuh karena Andri tidak membawa tenda seperti yang sudah ditugaskan dalam pembagian kelompok. Sehingga berlakulah sistem, yuk yang penting bobok anget. Payah.

Jam 02.00 kami semua melek dalam diam. Suasana camp semakin ramai dengan nyanyi-nyanyian gitar beberapa pendaki, dan teriakan saling menyambut pendaki yang baru saja datang. "Pah, jam 2. Mau summit gak?", papa hanya menjawab "he eh yuk."

Bangunlah kami berlima bersiap summit, kemudian membangunkan tenda yang berisi Rizky, Ebi dan Andri mengajak mereka ikutan. Sekitar 3 jam lebih kami mendaki ke Puncak Syarif. Gunung Merbabu ini meliliki 3 puncak, Syarif, Kenteng Songo dan Tringolasi. Puncak Syarif adalah yang paling banyak didatangi.

Pendakian merbabu bagus banget bagi para fotografer lanscape. Medan tidak berat ditambah pemandangan selama trekking saat sunset begitu cantik, dan saat sunrise di puncak begitu menakjubkan! Suwerlah! Berkali-kali saya , Kunthi dan PapMei berkata "Subhanallah" atau "Oh sh*t keren banget".


(Ceritanya lanjut nanti, mau pulang)













Friday, November 22, 2013

Kemping Ceria VS Gowes Ampe Sengkleh (GAS)

KemCer Dimulai 

Kalo selama ini umumnya orang mendaki dengan kaki, aku menemukan ternyata ada lho orang yang mendaki gunung dengan sepeda. Gowes Ampe Sengkleh (GAS), kelompok sepeda gokil yang bertemu Ayek-ayek saat Kemping Ceria (Kemcer), 29-30 Maret 2013 lalu.

Kemping Ceria direalisasikan atas dasar acara wisuda di gunung karena Rizky baru saja lulus kuliah. Papandayan dipilih karena kami ingin traveling dan piknik cantik di gunung. Kami memilih berangkat Jumat malam 29 Maret sepulang kerja. Ini kali pertama aku ke kantor membawa keril. Rasanya sangat macho!

Meeting point kami di terminal Lebak Bulus. Dengan Rp 35 ribu, kamu bisa naik bis ke arah Garut yang tersedia hingga pukul 24.00 dengan lama perjalanan sekitar 5-7 jam tergantung macet atau tidaknya jalanan.
Bus akan berhenti di Terminal Garut, masih perlu naik angkutan umum hingga pertigaan Cisurupan.

Tidak mudah mencapai lokasi basecamp dari pertigaan Cisurupan. Jalanan sangat jelek, kebanyakan cuma mobil picik up melewatinya. Tapi yang keren, kita kemarin bertemu sama kelompok pendaki pesepeda. Mereka menggunakan sepeda untuk mencapai basecamp. Kewl!
Mereka kewl!

Mereka satu per satu tiba di basecamp sekitar pukul 12.00 WIB tengah hari. Setiap tiba anggota mereka, semua orang di basecamp memberi selamat dengan tepuk tangan ramai. Iseng, Ayek-ayekpun kenalan dengan om-om dan mas-mas super ini. Mereka juga antusias memamerkan poster besar yang dibawanya, bertuliskan "GAS (Gowes Ampe Sengkleh), Bekasi-Gunung Papandayan, 29-31 Maret 2013".

GAS (Gowes Ampe Sengkleh) adalah sekelompok orang-orang yang mencoba untuk menikmati traveling dengan mengendarai sepeda. Mereka berempat, yaitu Ares, Narki, Dony, dan Ganip mewakili kelompok yang terdiri atas 15 orang dan memulai mengayuh sepeda dari Cisurupan. Kemudian berhenti sejenak di basecamp, lalu lanjut bersepeda hingga ke Pondok Salada.

Jangan salah, mereka nantinya akan pulang sampai bekasi dengan mengayuh sepeda. Kurang seksi apa betis mereka coba?! Mereka bahkan juga pernah menggowes sepeda hingga Palembang. Setelah Papandayan, mereka akan mencoba bersepeda hingga Pantai Pangandaran.

Papandayan memang cocok disebut sebagai destinasi kemping ceria. Seperti kata Om Ardi, Nginep semalam wajar. Nginep 2 malam itu ngeronda. Treknya termasuk ringan hingga tempat camp, hanya perlu berjalan sekitar 2,5 jam. Itu pun udah diisi dengan foto-foto narsis. Namanya juga kemping ceria.
Jalan dikit, foto, jalan dikit, foto

Jangan lupa selalu sedia penutup mulut, karena bau belerang sepanjang perjalanan sangat menyengat.
Untuk mencapai Pondok Salada, ada 2 trek, melalui trek hutan mati yang terjal namun lebih singkat, atau trek lawang angin yang lebih landai namun lebih lama karena jalurnya memutar.
Belerang dimana-mana

Yang menyenangkan, om-om dari GAS ini mendirikan tenda persis di sebelah tenda kami. Haha mereka sangat jago masak! Yaudah deh, semua logistik Ayek-ayek dilempar ke 'dapur' tetangga. Om-om GAS memasak, kami the ayek-ayek-ers and friends cukup mengunyah!
Tinggal makan!

Apalagi yang lebih nikmat dari itu? Ditambah kita-kita boleh berkeliling meminjam sepedanya. Gak cuma bersepeda sampai Pondok Salada, Om Ares dkk juga akan menggowes sepeda ke atas menuju ke Tegal Alun.


Ayek-ayek boleh pinjam
Gak afdol kalo main ke gunugn, tapi nggak summit. Sambil membawa toga untuk mewisudakan Rizky, kami berangkat sekitar pukul 04.30 ke tempat dimana bisa melihat matahari terbit. Kebedonan terjadi saat kita sadar tidak membawa minuman panas dan makanan lebih.

Nengok ke belakang, eh Om Ares ternyata ikut kita untuk melihat matahari terbit juga! Lengkap dengan nesting pastinyah! Nikmat deh! Suer! Bareng-bareng mereka senantiasa minum nutrisari/kopi/teh panas plus beberapa roti bakar!


Summit
Masih banyak cerita trip lanjutan nantinya. Tempatnya juga akan lebih cadas! Namanya juga traveler random, dan ketemu ayek-ayek jelek yang ngejabanin semua trip. *cek dompet* Semangatt!!! Mungkin kapan-kapan aku juga harus coba bersepeda jarak jauh! Pastinjaaaaa....
Sampai jumpa lagi

Thursday, November 21, 2013

Pangrango dan Lembah Kasih Mandalawangi, Sumber Inspirasi Soe Hok Gie

Sebelum dan Sesudah Trekking


8-10 November 2013

Setelah puas dengan Merbabu dan kota mistis romantis Yogyakarta, kali ini traveler random sadar belum pernah menjamah gunung yang berada sangat lebih dekat dengan Jakarta. Gunung Gede Pangrango. Oh iya ini nama dua gunung ya!

Gunung di Taman Nasional Gede Pangrango memang hangat berselimutkan puisi-puisi Soe Hok Gie. Tidak heran gunung di Jawa Barat dan masih bersebelahan dengan kota metropolut
an ini menjadi gunung favorit anak sekolahan ataupun organisasi saat melakukan pelantikan.

Lembah Mandalawangi lah yang menjadi motivasi terbesar untuk ikut ajakan Isal, mengingat dia juga yang mengurus izin simaksi kami. Ceritanya kali ini ingin menyemarakkan Hari Pahlawan pada Minggu 10 November. *mamamcii icaall :*

Kami bertujuh, lagi-lagi ada Isal, Rizky, Papa Mei, berserta Farah yang menyusul dari Bandung, dan dua teman Isal, Dwi dan Bang Jambrong.

Kami mulai mendaki Sabtu sekitar pukul 01.30 WIB . Langit cerah, sangat berbeda jauh dengan kondisi pada Jumat siang, dimana hujan turun lebat sejak pukul 11.00 hingga saat kami akan berangkat dari Citos sekitar pukul 21.00.

Rasanya aneh mendaki tengah malam. Udara dingin, penglihatan yang terbatas, untungnya semua alat lenong asti masuk ke keril Papa Mei. Mamacii :* . Selama pendakian tidak ada ramai yang terdengar.

Padahal hari itu pendakian cukup ramai, total sekitar 400 pendaki. Sedikit menyebalkan mungkin ketika ada hal-hal aneh yang terlihat lebih jelas saat malam hari. Untung saya berada di antara 6 teman! Haha. Mulai dari pintu gerbang Gede Pangrango Cibodas hingga area kemping Kandang Badak memakan waktu sekitar 6 jam.

Mungkin benar bila sebagian pendaki menganggap Gede Pangrango sebagai rumahnya. Hutannya termasuk nyaman, terlihat beberapa pendaki tengah malam berjajar tertidur di jalur pendakian. Kami juga sempat memejamkan mata sekitar 30 menit. Cukup melipir, cari senderan batu atau pada keril. Silakan pejamkan mata! Hahaha

Isal, Dwi dan Bang Jambrong yang super sabar
Di tengah jalan, nanti kamu akan temukan Air Panas, air terjun yang mengalir tapi suhunya bisa buat merebus telor kata Rizky! Sengaja kami tidak membawa banyak logistik, karena penasaran dengan abang-abang nasi uduk. Yaa rasanya begitu-begitu aja sih, malah nasinya dingin dan telurnya kebanyakan garam. Entah tapi sensasinya rwaarr! x))
Nasi uduk rasa gunung
Perjalanan dari Kandang Badak hingga Puncak Pangrango (3.019 mdpl) memakan waktu 3 jam. Medannya banyak akar dan dahan pohon mejalar. Rasanya seperti melakukan parkour, memanjat sana sini, berjongkok, melangkahi halang rintang pohon-pohon besar.

Hati-hati, jangan sampai tertipu dengan Puncak Pangrango. Ini terjadi pada PaPa Mei dan Bang Jambrong yang berjalan duluan. Sampai di puncak "Jadi? Gini doang puncaknya?", lalu mereka turun lagi. Padahal Lembah Kasih Mandalawangi berada tersembunyi 150 meter dari Puncak Pangrango.

Puncak Gede dari Pangrango
Rasa sesak, suram, sepi, dingin menyapa kala akhirnya saya menemukan apa yang dinamakan Lembah Kasih. Lembah bunga cantik yang cenderung terkesan seperti wanita yang dingin. Angin dingin berhembus kencang kala itu, cukup dingin untuk membuat Isal menggigil. Siapa suruh gak pake jaket?!

Rasanya Sepi
Apa yang saya rasakan pada Mandalawangi sudah saya tuangkan dalam tumblr. Lelah, kram perut datang bulan, lapar akut hilang sementara ketika melihat hamparan padang luas dengan pohon-pohon bunga edelweiss setinggi pinggang hingga dada orang dewasa.
Atas: Mandalawangi, Bawah: Surya Kencana

Di antara menusuknya udara dingin, terselip rasa damai di sana. Dingin, pekat, menusuk, namun entahlah muncul rasa untuk melepaskan rindu-rindu kepada banyak hal selama ini, melepaskan segala rasa sesak itu di Lembah Mandalawangi. Mungkin ini alasan Gie menyukainya. Mungkin.

Berasa Video Klip

Suasana sore sekitar pukul 16.30 di Lembah Mandalawangi, tanpa sinar mentari, dingin, kabut, namun kehangatan muncul dari canda tawa antar teman, sahabat, lengkap dengan berfoto bodoh kami.
Atas: Mandalawangi, Bawah: Surya Kencana

Ah iya! Jangan terlalu sore untuk kembali ke Kandang Badak ya! Karena medannya mengharuskan kamu bergaya seperti monyet dan membuat cepat lelah, ditambah cahaya headlamp yang mungkin saja tidak cukup menerangi... (hati) #uups!

Untuk cerita tentang Gunung Gede, akan kulanjut lain kali. Saat menanjak tengah malam itu, aku datang bulan di pagi hari dan hilang semua tenaga serta drop dan sakit tiba-tiba. Masih jelas teringat mimik muka Isal berkata "Aaahh aastiiiii!!", ketika aku laporan "Isall, asti dapett :(". *maaf ya Isal aku nyusahin ._.*

Kondisi tubuh yang tidak stamina membuatku tidak summit ke Gunung Gede pada esok harinya. Ditemani Dwi yang juga sedang batuk, serta Bang Jambrong, kami bertiga malah berujung saling bercerita tentang hidup pribadi. Iya, gunung pasti menjadi saksi bisu isi curahan hati manusia.

Lain kali pasti kutuliskan cerita tentang Gunung Gede dan Taman Surya Kencana, untuk sekarang cukup cuplikan foto Gedenya, ya! Ceritanya tunggu saja! ;)
Puncak Pangrango


Teman baru lagi

Sunrise Puncak Gede

Puncak Gede & Surya Kencana 

Wednesday, November 20, 2013

Semeru, pertemuan keluarga baru

Halo kamu yang disana, yang bertanya apa sih yang aku cari sampe melakukan hal-hal yang menurut kamu, semua itu bukan dunia aku. Haha iya memang aku sendiri juga tidak tahu pikiran aku mau berjalan ke mana. Satu hal yang jelas, saat ini detik ini yang aku cari adalah kebersamaan. Kebersamaan yang baru, dengan orang-orang baru, membuka semakin lebar duniaku, cara pandangku dan belajar memahami banyak hal. Aahh.. nanti kamu juga akan tau kok. Ini Kisah perjalanan aku Tahun Baru 2013 lalu :) Selamat membaca!

Kebersamaan di kereta


                           


Kebersamaan untuk tumpuk-tumpukkan di atas mobil Jeep 


    
Kebersamaan untuk saling bantu dan menyelesaikan apapun sama-sama


                                    

Kebersamaan juga bisa terjadi dalam kegiatan mencari Mr. Septikteng alias nyari lahan tanah di semak-semak untuk digali dan membuang hajat (bukan hajatan) kita ;)



Bahagia itu sederhana, sesederhana kebersamaan bersama orang-orang asing ini. Keluarga ayek-ayek sebelumnya merupakan kumpulan orang-orang asing yang berkumpul menjadi satu tim, lalu saling melepaskan ego dan ke-aku-an masing-masing, dan level keeratannya berubah menjadi sebuah keluarga besar. Ayek-ayek, nama yang pertama kali aku dengar kesannya seperti liar, padahal isinya manusia-manusia baik hati dan selalu ceria. Tapi yasudahlah mungkin keliaran ini yang membuat kami menjadi keluarga. Mungkin dengan membaca cuplikan-cuplikan manusia Ayek-ayek ini, kamu bisa melihat seperti apa kebersamaan sederhana yang kami bangun.

Om ardi, bandar cokelat
(bongkar tasnya, dan kamu akan menemukan banyak cokelat! *harta karun*) pemimpin yang panikan, bukan panikan histeria, tapi dia ingin segalanya baik-baik saja, dan berjalan semestinya. Dari saat persiapan, Om ardi selalu menanyakan apa-apa lagi yang kurang yang belum dimiliki anggotanya, bahkan berkeliling mencari barang-barang tersebut.
Lalu ketika di kereta, dia mencari ‘anak-anaknya’ duduk dimana saja, dan suka mengecek ‘anaknya’ lagi dimana. Oh ya! Kalau sudah tenang dan bosan, biasanya Om Ardi ini pelor, alias nempel molor, kekuatan molornya luar biasaa!
Selama pendakian cukup sekali Om Ardi jalan bareng aku, yaitu dari pos 1 hingga Ranukumbolo. Kata Om Ardi, jalan sama aku bikin galau, bikin dia gak tahan curhat! Keceplosan curhaatttt melulu. *Hahaha piss Om ;)* curhatan Om Ardi bisa jadi cerpen 8 halaman rasanya. #eh?
Daud, bolang sejati
Boleh percaya atau tidak, sebelum ke semeru, jagoan ini memulai perjalanannya duluan, dimulai dari Lampung! Berangkat pun Daud tidak bersama-sama kami.
Di suatu perjalanan entah stasiun mana, tiba-tiba Bang ini muncul dan membawa buah, kalau tidak salah buah matoa namanya.
Ya, tidak usah dikhawatirkan kemana Bang Daud pergi, toh nanti dia akan muncul dengan sendirinya. Yang patut sedikit dikhawatirkan adalah istrinya. Bila tidak mendapat kabar dari Bang Daud, siap-siap twiter cewek-cewek ayek ayek akan dimention menanyakan keberadaan Bang Daud. hahaha x))
Abang Super ini sepertinya memang besar di alam. Dia adalah SOS kami semua ketika tidak bisa menyelesaikan masalah masalah yang terjadi di gunung, salah satunya ketika Rizky nyaris jatuh ke jurang saat hujan deras ketika pulang melalui jalur Ayek-ayek.

Kalau dari awal yang diniatin buat naik gunung, ya manusia cuek yang diam-diam merhatiin ini orangnya. Faisal, tipe kriteria suami masa depan (piss prof! :p). Isal muncul sejak kopdar pertama kali di depan Museum Fatahilah. Saat itu bahkan belum jelas siapa-siapa saja kelompoknya. Isal datang sendirian dengan memakai jaket anak pencinta alam kampusnya. Memang dari awal gaya super santai dan cueknya terlihat. Dimulai dari paling santai saat belum punya tiket berangkat karena dia sendiri belum yakin bisa kabur dari kantor akibat sebelumnya sudah pernah bolos untuk naik ke Gunung Gede -__-. Aku menyebut Faisal kriteria suami masa depan idaman karena si profesor ini tenang sekali menghadapi apapun, beda-beda tipis lah tingkat ketenangannya sama Bang Daud. Waktu aku dan Papa jatuh, Isal tiba-tiba muncul dengan kalemnya dan bilang "Itu injek yang rumput aja" sambil berjalan lalu. Nyebelin.

Oh iya, Isal juga pakarnya memasak nasi di nesting! Nidya aja kalah.. Hal ini yang membuat Kunthi terkagum kagum (Cieee Fai-faii ;;)) , walaupun Isal sendiri tidak akan makan nasi selama di atas gunung sih.. Dia takut pup! :p karena itu senjata andalannya kopi rokok, dan indomie! Kalau kopi yang dia bikin sudah jadi di cangkir, pasti aku minta bagi. :)) *males bikin*

Sangking santainya isal, dengan mudahnya dia menitipkan teman kantornya yang bernama dwi, dan nomor hape aku yang dikasih, dwi ini semacam barang titipan jadinya.. hahaha. Sementara Isal sendiri menyusul keesokan harinya dengan pesawat, dan tiba jam setengah 10 malem di pasar tumpang dengan senyum stay coolnya. Santai pisanlah orangnya.. Kenapa dianggil prof ya? Haha itu panjang ceritanya, tanya dia sendiri yaa..! ;)

Ekhsano, legowo-man, teh panas plus tempe goreng. Ini adalah Papanya ayek-ayek juga. Pertama kali kenal Papa Sano justru cuma di whatsapp dari percakapan sih mikirnya ini orang sibuk bener sampe susah sekali untuk kumpul dan ternyata memang sibuk sekali Papa sano ini. Aku ingat pertama kali Papa sano mau bergabung, aku langsung memalak cokelat! :9 dan pada hari H di pasar tumpang, beneran loh dia membawa banyak cokelat.. Makasiih Papaaa *peluk-peluk papa* Papa ini canggih dan nyentrik! Waktu packing, dia membuat raincover dari plastik trashbag karena err kurang tahu ya rain covernya kemana... Hahahaa


Kebalikan dari Papa Sano adalah Papa Meizal Rossi, 30 tahun, satu lagi Papa dalam kelompok Ayek-ayek, pria metropolitan yang nyangsang di Semeru. Aku panggil dia Papa tanpa embel-embel nama karena dia partner aku ketika trekking summit.
Pria masa kini yang isi otaknya sangat out of the box ini bukan seorang mountaineer, baru pertama kali mendaki gunung. Ada beberapa momen menyebalkan terkeit orang ini. Waktu lagi mendaki tanjakan cinta, ditengah-tengah tanjakan diantara lelah, tiba-tiba ada yang berkata dari belakang “Ayo Ast.. Tarik nafas.. pelan-pelan, santai aja.. gue dibelakang lo kok”.
Refleks, menoleh kebelakang, menjawab “Sip Pah..” sambil ngos-ngosan. Setelah itu otak beku, dalam hati tereak “Aargghh!! Nengok kebelakang!!”, meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini hanya mitos... hanya mitos Ast...
Adegan Papa dan anak paling konyol adalah waktu akan menuruni tanjakan cinta, aku terpeleset dan berusaha berdiri dengan memegang rerumputan, namun saat itu licin sekali sehingga reflek aku manggil si Papa Mei. Papa yang ada di belakang beberapa orang di belakang aku langsung sigap menghampiri menolong anaknya kedepan... dan malah dia yang kepleset ala perosotan. Great! *Maaf ya Papa*

Fachri, Fuadi duo kembar dibelah kapak


Dua pria asal bandung ini seperti memiliki kehidupannya sendiri. Mereka antara ada dan tiada namun sangan lincah layaknya tupai. Mereka berdua senantiasa menghilang, kemudian tiba-tiba muncul kembali di belakang kita untuk membantu. Seandainya saja tidak perlu pakai adegan menghilang. Coba deh punya anak ato punya pacar kayak mereka, enak , gak perlu diurus.
Ibarat lagu dangdut, "masak, masak sendiri, tidur juga sendiri". Begitulah..

Kunthi, master of pup. Salah seorang teman beda kelompok, Bayu dari tim Arcopodo, pernah melontarkan kicauannya kalau bukan naik gunung kalau gak buang hajat, mininal di salah satu pos. Kicauan bayu langsung saya sampaikan ke akun kicaunya Kunthi, sebagai masternya buang hajat. Seandainya diperbolehkan, mungkin setiap pos akan diberi tanda “Bekas Kunthi”.

Sayangnya, guide Ayek-ayek, Mas yayan, bilang jangan buang hajat di jalur pendakian ketika di tengah pendakian Kunthi bertanya “Mas yayan, boleh pup sebentar gak?” (sabar ya Mas Yayan). Kunth-kunth, manusia gagal packing ini selalu merasa sakit perut sepanjang pendakian.
Memang jauh hari sebelum acara semeru ini, saya dan kunthi sudah sepakat untuk membuang hajat barengan dengan tujuan agar tidak banyak mengotori area pembuangan hajat. Satu kisah menarik mengenai rencana pembuangan hajat, Kunthi mengira sekop yang dibutuhkan untuk menggali tanah membuat lubang pembuangan adalah cangkul milik pak tani.
Berulang kali kami semua, peserta pendakian, menjelaskan bahwa sekopnya sekop taman, panjangnya hanya dari pergelangan tangan hingga siku. Namun apa daya, penggambaran deskripsi dari kami tidak sampai di bayangan pikiran Kunthi hingga akhirnya dia menemukan sendiri wujud sekop itu di toko tanaman. 
Selama 4 hari 3 malam, nona ini selalu bersama-sama saya (kecuali tiap kali trekking), mulai dari tidur, berbagi makanan (makasi buat farley-ferleynya kunthi), hingga buang hajat bersama satu lobang. Begini ucapan Kunthi “Jadi Ast.. galinya yang lebaran dan daleman aja.. nanti lo pup duluan, kalo udah tutup tisu basah, tanah yang banyak, nanti atasnya gue deh! Gua juga gitu nanti, jadi kan hemat tempat!” dengan cerianya.
Kamu tau? Pup bersama itu bisa jadi ajang curhat yang sampai mengakar-akar loh.. Aku dan Kunthi bisa cerita-cerita, kesel-keselan, mau teriak karena kekesalan kita juga ga ada yang merhatiin kecuali partner pup kita ;)

Nidya, calon ibu idaman karena jago masak.
Dari awal sebelum perjalanan dimulai, wanita ini menunjukkan keahliannya memasak. Ya, memang dapur sudah kerajaannya mungkin. Selama pendakian senantiasa didampingi oleh bang Daud. Dia juga merupakan tempat curhatnya Mbak Ken, yang mengalami kasmaran gunung. Anehnya, Mba nid ini seringkali menghilang tiap sekelompok akan foto bersama.

Ada percakapan random yang terjadi antara aku dan Papa Mei. Malam itu, malam tahun baru, kami berkumpul duduk di dalam tenda, bercanda hingga serius mendengarkan ucapan Bang Daud yang mengajak membuat kesepakatan, kita semua berjalan tandem, satu wanita dipegang oleh satu pria, dan masing-masing pasangan harus bareng-bareng sampai ataupun tidak sampai puncak Mahameru.

Saat itupun aku berpikir ya sudah dari awal aku memang mencari kebersamaan dan perjalanan itu sendiri karena aku bukan pendaki gunung, sampai tidak sampai, bersama siapapun pasangan mendaki ke puncak, jalankan saja. Om Ardi memasangkan aku dengan Papa Mei.


Menit-menit sebelum berangkat untuk muncak, menit menit sebelum tahun baru Meizal Rosi sambil pemanasan bilang "Ast, lo nyadar gak? What are we doing right now sik? Harusnya jam segini nih gue ada di depan tv, ato ada dimana deh buat ngerayain taun baru. Tapi? hahaha..."

Kalimat itu juga membuat aku kembali kepada ingatan waktu lagi disidang kamu dengan berbagai pertanyaan yang intinya "ngapain sik? mulai ga jelas banget deh maunya" . Lalu kita diam-diaman cukup lama, aku baca buku, kamu main game di hape, sampai akhirnya kamu nendang kaki aku dan ngomong geregetan "itu gunung, dingin, ga ada dokter pula diatas kan? kalo, sakit, gimana? Gunung kan bukan travelling. Hey denger gak sih ti? sering sakit kan?". 

Benar sekali, di kalimati dinginnya super! Hahaha dan aku tetap menikmati perjalanan menuju ke Puncak. Sesuai niat berangkat dari Jakarta, kalau ini adalah travelling bukan pendakian.
Tiba-tiba ditengah hutan Arcopodo, si Papa bilang "Ast, gue ga sanggup. Gue udah jiper. Serius Ast, gue gak sanggup. Sorry". Aku berusaha semangatin papa biar setidaknya juga jangan menyerah sebelum memulai, aku bilang ke Papa sendiri juga tidak punya target harus ke atas.


Untuk aku pribadi yang penting kita tau sejauh apa kita mampu mendakinya. Di hutan aku juga nyuruh Isal menyemangati Papa. hingga perjalanan sudah di antara pasir-pasir dan entahlah sudah seberapa jauh melangkah, dan dari tanya kanan kiri kata nya tinggal 500 meter lagi, deket *katanya*. 500 meter dari hongkong! -__- dan tiba-tiba juga urat kaki kiriku ketarik dan rasanya sakit banget banget.


Seberapa mencoba di tahan rasa sakitnya juga mulai mengganggu saat melangkah. Anggap saja puncak Mahameru memang belum rejeki aku. Iya sih ada rasa bersalah juga ke Papa Mei. waktu aku bilang sampai disini saja kakiku sakit sekali, Papa menjawab "Oke, gue sih santai".


Lalu dia duduk dan mulai memotret bahkan jadi tukang foto orang yang lewat dan minta diabadikan gambarnya -_____- *Papaaa anakmu lagi sakit kakinyaaa!*



Menghangatkan diri di dalam tenda, duduk lebih merapat agar saling menghangatkan. 2 cangkir cokelat untuk 1 tanda yang kala itu terdapat kurang lebih delapan atau sembilan orang yang duduk melingkar. Berbagi cerita antara sesama orang asing, belajar mengenal seperti apa orang-orang di dalam tenda itu, dibumbui dengan cerita masa-masa polos kunthi waktu SMP, dan sebenarnya ini dimulai dari kejadian kolornya daud dan kisah keambeyenan daud.
Saya juga kurang mengerti kenapa Kunthi bisa langsung jadi teringat kisah-kisah lugunya di SMP hingga awal kuliah. (jangan oneng lagi yaa kunth! :p ). Berlanjut keluarnya celetukan frase baru buat sebagian ayek-ayek, yaitu “nongtot bo’ol’, dipersembahkan oleh papa mejikal rossi menanggapi jalan pikiran kunthi, dan suasana satu tenda itu bertambah hangat dengan cekikikan para golongan remaja paruh baya.
Pasti akan ada tawa hangat ini lagi. Pasti. Segera. Sama-sama di dalam tenda, namun di gunung yang berbeda dan tentunya topik yang berbeda. Sampai jumpa Semeru, Ranukumbolo. Suatu hari aku akan mengunjungimu lagi, entah dengan siapa, yang pasti spesial ;)