Sebelum dan Sesudah Trekking |
8-10 November 2013
Setelah puas dengan Merbabu dan kota mistis romantis Yogyakarta, kali ini traveler random sadar belum pernah menjamah gunung yang berada sangat lebih dekat dengan Jakarta. Gunung Gede Pangrango. Oh iya ini nama dua gunung ya!
Gunung di Taman Nasional Gede Pangrango memang hangat berselimutkan puisi-puisi Soe Hok Gie. Tidak heran gunung di Jawa Barat dan masih bersebelahan dengan kota metropolut
Lembah Mandalawangi lah yang menjadi motivasi terbesar untuk ikut ajakan Isal, mengingat dia juga yang mengurus izin simaksi kami. Ceritanya kali ini ingin menyemarakkan Hari Pahlawan pada Minggu 10 November. *mamamcii icaall :*
Kami bertujuh, lagi-lagi ada Isal, Rizky, Papa Mei, berserta Farah yang menyusul dari Bandung, dan dua teman Isal, Dwi dan Bang Jambrong.
Kami mulai mendaki Sabtu sekitar pukul 01.30 WIB . Langit cerah, sangat berbeda jauh dengan kondisi pada Jumat siang, dimana hujan turun lebat sejak pukul 11.00 hingga saat kami akan berangkat dari Citos sekitar pukul 21.00.
Rasanya aneh mendaki tengah malam. Udara dingin, penglihatan yang terbatas, untungnya semua alat lenong asti masuk ke keril Papa Mei. Mamacii :* . Selama pendakian tidak ada ramai yang terdengar.
Padahal hari itu pendakian cukup ramai, total sekitar 400 pendaki. Sedikit menyebalkan mungkin ketika ada hal-hal aneh yang terlihat lebih jelas saat malam hari. Untung saya berada di antara 6 teman! Haha. Mulai dari pintu gerbang Gede Pangrango Cibodas hingga area kemping Kandang Badak memakan waktu sekitar 6 jam.
Mungkin benar bila sebagian pendaki menganggap Gede Pangrango sebagai rumahnya. Hutannya termasuk nyaman, terlihat beberapa pendaki tengah malam berjajar tertidur di jalur pendakian. Kami juga sempat memejamkan mata sekitar 30 menit. Cukup melipir, cari senderan batu atau pada keril. Silakan pejamkan mata! Hahaha
Isal, Dwi dan Bang Jambrong yang super sabar |
Nasi uduk rasa gunung |
Hati-hati, jangan sampai tertipu dengan Puncak Pangrango. Ini terjadi pada PaPa Mei dan Bang Jambrong yang berjalan duluan. Sampai di puncak "Jadi? Gini doang puncaknya?", lalu mereka turun lagi. Padahal Lembah Kasih Mandalawangi berada tersembunyi 150 meter dari Puncak Pangrango.
Puncak Gede dari Pangrango |
Rasanya Sepi |
Atas: Mandalawangi, Bawah: Surya Kencana |
Di antara menusuknya udara dingin, terselip rasa damai di sana. Dingin, pekat, menusuk, namun entahlah muncul rasa untuk melepaskan rindu-rindu kepada banyak hal selama ini, melepaskan segala rasa sesak itu di Lembah Mandalawangi. Mungkin ini alasan Gie menyukainya. Mungkin.
Berasa Video Klip |
Suasana sore sekitar pukul 16.30 di Lembah Mandalawangi, tanpa sinar mentari, dingin, kabut, namun kehangatan muncul dari canda tawa antar teman, sahabat, lengkap dengan berfoto bodoh kami.
Atas: Mandalawangi, Bawah: Surya Kencana |
Ah iya! Jangan terlalu sore untuk kembali ke Kandang Badak ya! Karena medannya mengharuskan kamu bergaya seperti monyet dan membuat cepat lelah, ditambah cahaya headlamp yang mungkin saja tidak cukup menerangi... (hati) #uups!
Untuk cerita tentang Gunung Gede, akan kulanjut lain kali. Saat menanjak tengah malam itu, aku datang bulan di pagi hari dan hilang semua tenaga serta drop dan sakit tiba-tiba. Masih jelas teringat mimik muka Isal berkata "Aaahh aastiiiii!!", ketika aku laporan "Isall, asti dapett :(". *maaf ya Isal aku nyusahin ._.*
Kondisi tubuh yang tidak stamina membuatku tidak summit ke Gunung Gede pada esok harinya. Ditemani Dwi yang juga sedang batuk, serta Bang Jambrong, kami bertiga malah berujung saling bercerita tentang hidup pribadi. Iya, gunung pasti menjadi saksi bisu isi curahan hati manusia.
Lain kali pasti kutuliskan cerita tentang Gunung Gede dan Taman Surya Kencana, untuk sekarang cukup cuplikan foto Gedenya, ya! Ceritanya tunggu saja! ;)
Puncak Pangrango |
Teman baru lagi |
Sunrise Puncak Gede |
Puncak Gede & Surya Kencana |
No comments:
Post a Comment